Kalau di China ada Manusia Siput, di Indonesia ada Manusia Gerobak. Mereka membawa dan hidup di gerobak. Mereka didorong atau ditarik layaknya gerobak. Didorong kerasnya hidup, ditarik semangat untuk menjalani hidup.
Manusia Gerobak banyak ditemui di kota-kota besar, seperti Jakarta. Gerobak yang mereka bawa kesana-kemari fungsinya bukan hanya untuk menampung barang bekas dari hasil memulung, namun gerobak itu juga dipakai untuk menyimpan kebutuhan sehari-hari dan menjadi tempat tinggal mereka.
Elza Peldi Taher, penulis esai ‘Manusia Gerobak’, mengatakan mereka sebenarnya rakyat. Tapi, masyarakat seolah menganggap mereka seperti sampah yang harus dibuang. Mereka dianggap tak punya hukum untuk mendapatkan tempat tinggal. Dimanapun mereka tinggal, mereka akan digusur. Padahal mereka anak bangsa yang memang tak punya apa-apa.
Menurut Dosen Sosiologi Universitas Negeri Jakarta Robertus Robert, mereka punya usaha. Mereka tak bisa disebut sebagai tunawisma. Sebab mereka mau punya rumah untuk mendukung pekerjaan. Lahan pekerjaan mereka pun tetap, yaitu mengumpulkan barang bekas.
Kemunculannya disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya seperti urbanisasi, keterbatasan ekonomi dan sulitnya mendapat lahan dan rumah.
Sangat miris sekali, mereka membutuhkan uluran tangan2 kita. kalau bukan kita siapa lagi…
Semoga pemerintah lebih memperhatikan akan hal-hal seperti yang yang banyak terjadi pada kaum bawah yang penuh dengan kesulitan
kasihan ya mereka. harus tidur berpindah-pindah tempat.
orang kaya banyak yang nggak bayar pajak ama zakat ada yang mau bayar di larikan lagi ama gayus wah memang semakin complicated persoalan seperti ini
di malaysia lewat 80-an pun hanif ada jumpa keluarga macam ni. tapi berbeza sedikit. mereka naik van dan van itu dijadikan rumah bergerak ke sana ke mari. namun, sekarang sudah tidak jumpa lagi begini.
terima kasih kerana sudi singgah di blog saya.
Bukan senang nak jadi senang kan…
Seandainya 50% saja orang kaya di Indonesia mengeluarkan hak mereka (orang miskin) tentu tidak ada orang yang disebut orang miskin.
Setuju sekali Mas Andik Rasida